Sebuah Keluarga
oleh: Anissatul Walid
Pada hari pertama dan kedua aku memilih untuk diam dirumah nenek dan menikmati pemandangan alam sekitar, hingga akhirnya aku dikenalkan dengan anak dari orang kepercayaan nenek. Kita seumuran hanya saja jenis kelamin yang membedakan, aku perempuan dan dia laki-laki. Awal pertemuan kita di rumah nenek sangatlah asyik, kita mulai berkenalan dan saling bercerita.
“Hai, namaku Wildan. Nama kamu siapa?” tanyanya dengan nada ramah.
‘Hai aku Sarah.” Jawabku dengan tersenyum.
“Kamu dari Jakarta ya? Dengan siapa ke sini?” ia mulai meluncurkan pertanyaan-pertanyaan.
“Iya aku dari Jakarta, kok kamu tahu sih? Aku ke sini di antar pak supir karena ingin liburan dan bertemu nenek.” Jawabku dengan senang.
“Iya, Ibuku yang memberi tahu. Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi bermain ke tepi hutan? Kamu pasti belum pernah kesana kan?” ajaknya.
“Ha, ke hutan? Tidak ah aku takut, nanti kalau terjadi apa-apa bagaimana?” tolakku.
“Bukan ke hutannya tapi ke tepi hutan, tenang saja di sana banyak penduduk desa yang berladang dan mencari kayu bakar. Pemandangan di sana juga indah sekali, kita juga bisa membantu warga untuk mencari kayu bakar.” Ajaknya dengan meyakinkanku.
“Hmm bagaimana ya, baiklah tapi izin dulu ke nenek!” pintaku.
“Tenang saja nenek pasti mengizinkan.” Timpanya.
Setelah mendapat izin dari nenek aku dan Wildan pergi ke tepi hutan dengan membawa bekal yang di berikan oleh nenek, kita berjalan menelusuri kebun teh dan jalan berbatu. Hingga akhirnya 30 menit kemudian kita sampai, aku benar-benar lelah karena jalan yang ku lalui terjal, berbatu dan jauh akan tetapi setelah melihat pemandangan dari pinggiran bukit di tepi hutan ini semua lelahku terbayarkan.
“Benar katamu pemandangannya sangat indah, lebih indah dari pemandanga di sekitar rumah nenek.” aku mulai berbicara dan takjub dengan pemandangannya.
“Tentu saja di sini lah pemandangan terindah desa ini, di sini pula kamu bisa melihat terbenamnya matahari. Jauh lebih indah dari pemandangan sekarang.”
“Sungguh? Kalau begitu aku mau melihatnya.” Tanpa pikir panjang aku langsung menjawabnya.
“Kamu serius? Kita hanya berdua, aku tidak membawa senter dan alat penerangan lainnya bekal kita juga tidak cukup dan sekarang masih jam 2 siang.” Tanyanya heran.
“Ya aku serius, jangan panik begitu ah aku sudah mempersiapkan semuanya tenang saja. Aku berfikir petualangan kali ini akan sama dengan petualangan-petualangan di TV jadi aku membawa senter, makanan kecil, dan perlengkapan lainnya.” Jawabku dengan santai
“Terus nanti kalau nenekmu mencari bagaimana?” Tegasnya.
“Biarkan saja, kan aku ingin menikmati pemandangan indah yang tidak ada di kota dan niatku kesini kan untuk berlibur. Toh kamu juga tahu jalan pulang.” Jawabku dengan nada santai.
“Kamu ini nekad sekali ya, baiklah kalau begitu akan aku temani kamu di sini hingga matahari terbenam.”
Setelah itu kita turun dan membantu warga yang mencari kayu bakar, dan akhirnya kita di beri dua buah jagung oleh warga tersebut. Tak lupa kita juga mengumpulkan sebagian kayu bakar untuk penerangan, jaga-jaga kalau batre lampu senter Sarah habis. Jam demi jam berlalu, menit ke menit, detik ke detik hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 18.00 matahari pun perlahan mulai menenggelamkan dirinya, Sarah terlihat begitu bahagia tidak lupa ia mengabadikan moment dengan kamera mungil yang ia bawa. Ia selalu mengabadikan setiap moment dengan kamera mungilnya sejak berangkat dari rumah nenek, aku pun tak luput dari jepretannya. Ia terlihat senang saat memotret sesuatu, mungkin dengan memotret ia merasa senang dan lupa akan kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sarah merupakan sosok yang positif menurutku, ia selalu mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang positif dan selalu membanggakan orang tuanya, ia selalu mendapat ranking dikelas dan mengikuti berbagai perlombaan diluar sekolah. Hari pun semakin larut, namun Sarah masih tak mau beranjak dari tempat ini, nampaknya ia begitu menikmati tempat ini dan kelihatannya ia nyaman berada disini.
“Ayo pulang!” Ajakku ke Sarah.
“Nanti dulu ah, pemandangannya masih bagus tuh lia mataharinya!” Seru Sarah.
“Aku kan sudah biasa melihatnya, bahkan hampir setiap hari.” Jelasku ke Sarah.
“Yasudah kalau begitu.” Jawabnya dengan sedikit kesal.
Memang tak bisa kupungkiri pemandangannya sangat indah, aku seperti tidak memiliki rasa bosan untuk memandangnya setiap hari.
“Sudah ah ayo pulang! aku sudah puas hari ini, kasihan Nenek nanti mencari kita.” Ajakku.
“Baiklah, mana senternya?” tanya Wildan.
“Ini, coba hidukpan dulu!” Pintaku.
“Sini, ini nyala kok.” Jawabnya.
“Oke, ayo pulang! Kita jalannya sebelahan ya, aku agak takut hehe.” Ajakku malu-malu.
“Ayo, kamu ini sebenarnya penakut kan?” Tanya Wildan dengan nada setengah mengejek.
“Hehe sudah ayo cepat pulang, kasihan nenek sudah menunggu.” Ajakku mengalihkan pembicaraan.
Akhirnya kita pulang dan berjalan berdampingan seperti pintaku padanya, jujur aku memang penakut tapi aku berusaha menutupinya di depan teman-temanku termasuk Wildan, tetapi akhirnya ketahuan juga. Matahari masih belum benar-benar tenggelam, tapi aku mengajak Wildan untuk pulang karena takut dengan kegelapan, meskipun matahari masih sedikit menyinari dari ujung sana tapi aku tetap menghidupkan lampu senterku. Kita berjalan agak cepat agar segera sampai di rumah, akhirnya setelah 20 menit berjalan kaki dengan penerangan seadanya kita sampai dirumah. Ya perjalanan pulang memang membutuhkan waktu lebih sedikit dibandingkan dengan perjalanan pergi.
“Nenek, aku pulang.” Sapaku dengan nada riang ke Nenek.
“Kalian dari mana saja?” Tanya Nenek dengan sedikit mencemaskanku.
“Bukit nek, aku tadi lihat mataharinya tenggelam loh Nek bagus sekali.” Jelasku pada Nenek.
“Iya Nek, tidak mau diajak pulang tadi Sarah.” Wildan ikut menjawab.
“Benar dugaan Nenek, Pasti kalian menunggu sampai matahari tenggelam. Yasudah kalau begitu cepat mandi lalu makanlah kalian, Nenek sudah menyiapkan makanan.” Balas Nenek dengan tersenyum
“Siap Nek.” Jawabku dan Wildan kompak.
Aku dan Wildan menuju kamar mandi dengan segera. Selesai mandi aku segera menuju meja makan, ternyata Nenek, Wildan, dan Ibunya sudah menunggu disana. Setelah berkumpul semuanya, kita makan bersama dan saling bercerita. Aku sangat senang tinggal disini, aku merasa semua hal yang tidak pernah aku lakukan bisa ku lakukan disini, segala sesuatu yang tak pernah ku dapat akhirnya kudapatkan disini. Kehangatan sebuah keluarga yang selalu kuinginkan, meskipun Nenek dan keluarganya Wildan tidak ada ikatan persaudaraan akan tetapi mereka terlihat sangat akrab seperti keluarga sendiri. Aku merasa iri dan ingin tinggal disini, aku merasa nyaman dengan orang-orang sekitar yang ramah, suasana yang menyenangkan, dan teman yang mengerti aku.
Tak terasa sudah satu minggu aku berada disini, hari ini rencananya aku akan dijemput pak supir seperti biasa, namun dugaanku salah Mama dan Papa yang menjemputku. Mau tidak mau aku harus pulang hari ini karena aku harus menepati janji pada Mama dan Papa, belum lagi Papa sangat keras dan disiplin orangnya kalau bicara A ya A tetap pada pendiriannya. Terkadang aku merasa sangat sedih berada diposisi sekarang, karena aku sudah nyaman dan mendapat banyak teman, hal yang sulit kulakukan ketika di kota. Papa, Mama, dan Nenek nampaknya mulai berbicara serius, mungkin mereka membiicarakan tentangku selama disini. Akhirnya mereka selesai berunding, lalu Mama dan Papa dengan segera menuju ke mobil dan kembali dengan membawa sebuah koper. Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Apakah Mama dan Papa ingin tinggal disini juga? Lantas aku sendirian dikota? Atau hanya bersama pak supir dan Bibi? Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiranku. Akhirnya Mama, Papa, dan Nenek menjelaskan semuanya.
“Bagaimana Sarah, kamu betah tinggal disini sayang?” tanya Mama.
“Sangat betah Ma.” Jawabku dengan semangat.
“Apa kamu tidak kangen dengan Mama dan Papa?” Tanya Mama lagi.
“Ya kangen Ma, kangen sekali.” Jawabku dengan memeluk Mama.
“Baiklah kalau begitu, Mama, Papa, dan Nenek tadi sudah berunding kalau kamu bisa tinggal disini satu minggu lagi.” Jelas Mama dengan tersenyum.
“Yey akhirya aku masih bisa tinggal disini, lalu Mama dengan Papa bagaimana?” tanyaku pada Mama dan Papa.
“Jangan khawatir seperi itu, kamu ini masih anak kecil sudah sok-sok an seperti orang dewasa. Papa dan Mama ikut tinggal disini, kita sudah mengambil cuti dari kantor. Papa minta maaf selama ini tidak memiliki waktu untukmu Sarah.”
“Yey, terima kasih Papa aku sangat senang sekali.” Jawabku dengan sedikit terharu.
Penjelasan dan permintan maaf Papa sangatlah membuatku senang, akhirnya kita bisa tinggal di rumah Nenek walaupun hanya satu minggu setidaknya Nenek tidak kesepian selama ada aku, Mama, dan Papa. Aku benar-benar tidak percaya Papa sampai rela mengambil cuti dan ikut menginap di rumah Nenek, padahal Papa sangatlah disiplin dan sangat anti untuk mengambil jatah cutinya. Kalau Mama sering mengambil jaah cutinya untuk menemaniku berlibur meskipun terkadang hanya ke museum, mall, ataupun tempat wisata berlibur lainnya tanpa Papa. Oleh karena itu aku sangat merasa senang Papa bisa bersikap seperti ini. Terimakasih Ya Allah engkau masih sayang dengan keluargaku hingga akhirnya engkau mengizinkan kami untuk tinggal dirumah Nenek dan dalam keadaan yang sehat.
ditulis oleh:
Yunda Anissatul Walid
disunting oleh:
Yunda Anissatul Walid
dipublikasikan oleh:
Sekretaris Umum HMI KIP UMM
Komentar
Posting Komentar